Menjadi Tukang Cuci


Kucek-kucek. Itulah keseharian yang sering aku alami beberapa hari di tahun 2008. Aku menjadi seorang tukang cuci keliling. Ironis! Tetapi apa mau dikata, untuk menutupi uang transpor perjalananku ke kampus – rumah – tempat ngajar, harus aku korbankan rasa gengsi dan semacamnya. Bagiku, gengsi mungkin sudah ngga’ ada dalam kamus hidupku. 
Tukang cuci bukanlah suatu pekerjaan yang lumayan mudah. Kumpulin pakaian, rendam dalam suatu baskom besar yang sudah berisi sabun kemudian menunggunya beberapa menit, habis itu barulah cucian dikucek-kucek sampai bersih. Tidak hanya sampai disitu. Setelah membilasnya, otomatis cucian itu perlu dijemur (entar ngga’ kering lho…). 
Ada sekitar 3 pekan aku melakukan pekerjaan itu. Capek dan lumayan berat. Tetapi di otakku hanya uang dan uang. Mungkin kalau teman-teman aku tahu pekerjaanku ini, mereka akan tertawa bahkan ada yang mungkin heran, sebab aku lahir dari keluarga yang berada, tetapi kok bisa jadi tukang cuci keliling…??!
Ah, jika semuanya bukan karena aku sayang keluargaku, maka aku ngga’ akan mengerjakan pekerjaan berat ini. Soalnya, di rumah aku saja punya tukang cuci yang setiap 2 hari sekali datang membantu ibuku nyuci. Aku ngga’ mau ngerepotin orang tuaku lagi. Aku ngga’ mau jadi beban yang untuk jajan saja aku harus minta pada mereka. Aku juga melakukan hal itu sebagai bentuk rasa sayangku pada adik-adikku yang masih sangat butuh biaya. Aku ngga’ boleh egois…
Hari pertama aku mengerjakan pekerjaan ini, lumayan siksa perasaanku. Di depan setumpuk pakaian bayi aku menitikkan air mata. Aku teringat betapa aku tidak pernah membayangkan akan sesulit ini menjalani hidup. Sekiranya waktu kecil aku punya tabungan sendiri, mungkin ngga’ akan seperti ini. Aku ngga’ akan menjadi pusing untuk mencari uang tambahan. Meskipun aku tahu, keluargaku masih mampu membiayaiku. Tetapi, tetap saja aku ngga’ bisa egois dengan itu. Cukup adik-adikku yang merasakan hal itu, mendapat fasilitas yang cukup untuk pendidikan. 
Aku sudah dewasa jadi aku harus belajar mandiri. Lumayan juga kok hasil ngajar bisa aku tabung meski ngga’ banyak. Karena ingin biaya transpor, makanya aku harus nyuci biar ngga’ kebablasan di tengah bulan. Aduh, sedihnya…
Nyuci dan nyuci. Setelah pengalaman beberapa hari membuatku jadi tahu banyak soal cuci-mencuci. Aku tahu gimana mencuci yang baik hingga tidak menjadikan orang yang memakai baju tersebut ngga’ merasa gatal apalagi kalau sampai baunya apek. Semua harus harum dan harum. Sebenarnya, bukan hanya untuk si empunya baju, tetapi juga akan memberikan rasa nyaman pada orang-orang di sekitar kita. 
Ngga’ terasa sudah masuk pekan kedua aku melakoni profesi sampinganku sebagai tukang cuci. Aku terkadang dipanggil ‘si embok’, kadang juga dipanggil ‘mbak’. Tetapi panggilan yang sering diberikan kepadaku adalah ‘adek’. Cukup sopan menurutku untuk menghargai sesama manusia, meskipun aku tahu bahwa pekerjaanku bukan apa-apa. Kan lucu, jika tukang cuci dipanggil dinda, he…he…
Menjadi tukang cuci menurutku lumayan menguras tenaga. Sebab, setelah melakukannya aku harus istirahat paling lama 30 menit. Aku harus pulihkan tenaga kembali untuk mencuci. Maklum, sehari biasanya aku dapat 2 sampai 3 rumah yang butuh tenaga cuci harian. Dari pagi sampai sore aku jadi tukang cuci. Melepaskan semua identitas sarjana dan staf pengajar. Masa sich, jadi tukang cuci harus pasang gelar atau bahkan tanda pengenal staf…kan entar disangka ngga’ waras.
Semua itu kulakukan ketika waktu kuliah dan jam ngajar lagi ngga’ ada. Daripada bengong dan ngga’ menhasilkan apa-apa, mending jadi tukang cuci. Pekerjaan yang seringkali disepelekan oleh orang-orang gedongan apalagi orang-orang yang sudah punya kerja yang bagus di kantoran. Padahal, tanpa tukang cuci mereka akan menderita karena ngga’ bisa berpakaian untuk keluar rumah. Ngga’ mungkin baju-baju tersebut ditumpuk begitu saja dan harus membeli yang baru terus-menerus. 
Andai saja mereka bisa sedikit merasakan gimana siksanya para tukang cuci, mungkin mereka ngga’ akan memandangnya sebelah mata. Tetapi aku ngga’ boleh nyerah. Menjadi tukang cuci adalah pekerjaan yang halal. Aku kan ngga’ mencuri atau merampok. Aku masih akan terus berusaha mencari cara mendapatkan uang dengan cara yang baik-baik. Sebab, percuma aku makan dari hasil yang ngga’ bener. Entar masuk neraka kan…?!
Hasil dari satu kali mencuci memang hanya sepuluh ribu perak saja. Itupun kalau hanya mencuci saja. Jika ditambah dengan menyeterika pakaian tersebut, biasanya dapat tambahan hingga dua puluh ribu. Jadi, kalau bisa dapat 2 sampai 3 rumah, bisa dapat sekitar lima sampai enam puluh ribu perak. Lumayan lah buat ongkos ke kampus. Tetapi kebanyakan aku sanggup hanya 2 rumah saja sehari. Sebab, di rumah yang satu aku harus datang pagi-pagi untuk nyuci kemudian sambil tunggu cuciannya kering, aku ke rumah yang kedua. Setelah agak siangan, baru aku ke rumah yang pertama untuk nyetrika. 
Aku ngga’ pernah ngebayangin dapet uang lima puluh ribu perak saja perlu kerja dari pagi sampai sore. Berbasah-basah dengan sabun dan setumpuk pakaian kotor. Sungguh di luar dari agenda hidupku waktu kecil. Tetapi aku harus tetap semangat! Yang paling buat aku bahagia, jika pemilik rumah menawarkan aku makan siang di rumahnya. Lumayan untuk hemat uang. Daripada makan di luar, mending makan di rumah itu saja. Meski terkesan ngga’ tahu malu, aku ngga’ peduli. Aku kan ditawari, ya udah aku ambil aja. Rezeki jangan ditolak. Tul ngga’…??!  He…he…he…
Seandainya orang tuaku dan keluargaku yang lain tahu apa yang aku kerjakan, mungkin mereka akan malu. Tetapi menurutku, orang tuaku adalah orang tua yang paling bijak dalam bersikap, meskipun terkadang aku dan mereka ngga’ sependapat. Aku hanya bangga menjadi bagian dari mereka karena meskipun hidup berkecukupan, tetapi aku selalu dididik secara tidak langsung untuk mandiri. Aku ngga’ mau memanfaatkan kekayaan mereka untuk berfoya-foya ataupun menjadi anak yang serba ingin itu dan ini. Kasihan mereka. 
Menjadi tukang cuci akan menjadi sejarah baru dalam hidupku. Aku menjadi punya cerita hebat untuk keluarga kecilku kelak, bahwa seseorang akan berhasil dengan berbagai macam rintangan. Ngga’ ada orang sukses yang hanya mengandalkan kekayaan orang tuanya. Justru kekayaan itulah yang menjadi modal untuk terus berusaha. Aku yakin bahwa sukses itu butuh perjuangan dan pengorbanan. Entah apakah itu harus menjadi tukang cuci seperti pilihan yang harus aku jalani. Dengan itu aku berharap akan menanamkan pada diriku sendiri untuk terus bangkit meskipun berada dalam kondisi yang sulit sekalipun. Tukang cuci itu hebat kok… Semangat!

                                                                                    Hari-hari di depan cucian, 2008

2 comments:

  1. cerita nyentuh banget, salut buwat perjuangan dalam hidup,.. http://zeanchemistry.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. Keren mbak... Inspiratif bgt... *salut buat sampean mbak.. :)

    ReplyDelete